Paradoks Bangsa Digital yang Percaya Dukun Santet


Paradoks Bangsa Digital yang Percaya Dukun: Menimbang Logika Mistis di Indonesia
Jujur saja, kadang saya suka senyum-senyum sendiri saat sedang scroll TikTok atau Instagram. Di satu sisi, kita bisa lihat konten canggih tentang AI, tutorial coding, atau analisis ekonomi yang rumit. Tapi, begitu swipe beberapa kali, muncul video tentang penampakan di pabrik kosong, cerita pesugihan, atau kesaksian orang yang sembuh berkat "air doa".
Pemandangan ini, buat saya, adalah potret sempurna dari Indonesia hari ini. Sebuah bangsa yang gandrung dengan teknologi digital, tapi di saat yang sama, nadinya masih berdenyut kencang dengan kepercayaan pada hal-hal gaib. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Setelah membaca sebuah analisis tajam tentang "Logika Mistika", saya jadi terpikir untuk menimbang-nimbang fenomena ini lebih dalam.
Logika Mistis vs. Logika Sains: Sebuah "Benturan" di Kepala Kita

Kalau kita bedah pakai cara berpikir yang lurus dan rasional, kepercayaan mistis itu sebenarnya sangat bertentangan dengan cara kerja dunia modern. Logika sains menuntut adanya sebab-akibat yang jelas dan bisa dibuktikan. Kalau kita sakit, sebabnya adalah virus atau bakteri, maka solusinya adalah obat yang sudah teruji secara medis. Kalau mau panen bagus, sebabnya adalah bibit unggul dan pupuk yang tepat, solusinya adalah teknologi pertanian.
Di sisi lain, "Logika Mistis" bekerja sebaliknya. Ia melompati hubungan sebab-akibat yang material itu. Sakit bisa jadi karena "ketempelan" atau "dikirim" orang. Gagal panen bisa jadi karena penunggu sawah marah. Solusinya pun bukan bersifat teknis, melainkan ritual: sesajen, ruwatan, atau meminta bantuan "orang pintar".
Dari sudut pandang ini, mudah sekali untuk menyimpulkan bahwa kepercayaan mistis adalah sisa-sisa masa lalu yang menghambat kemajuan. Ia membuat kita mencari jawaban di tempat yang salah dan mengambil tindakan yang tidak efektif untuk masalah-masalah konkret di dunia nyata.
Tapi, Kenapa Ia Begitu Sulit Luntur?
Kalau memang sesederhana itu, harusnya hal-hal gaib ini sudah lama hilang ditelan zaman, kan? Tapi nyatanya tidak. Menurut saya, ada beberapa alasan kuat kenapa "Logika Mistis" ini begitu awet:
Sudah Jadi Bagian dari DNA Budaya
Jauh sebelum kita kenal agama-agama besar, nenek moyang kita adalah penganut animisme dan dinamisme. Kepercayaan pada roh dan kekuatan gaib ini tidak hilang begitu saja. Ia justru "menyelinap" dan berbaur dengan ajaran agama yang datang kemudian. Jadilah kita sekarang, bangsa yang ke masjid atau gereja, tapi masih percaya ada hari baik untuk pindah rumah atau khodam pendamping. Ini bukan soal benar atau salah, ini soal identitas budaya.
Memberi Harapan Saat Logika Buntu
Harus kita akui, sains dan teknologi tidak selalu punya jawaban untuk semua masalah, terutama yang menyangkut penderitaan dan ketidakpastian hidup. Saat dokter sudah angkat tangan, atau saat kita merasa diperlakukan tidak adil tapi tak punya kuasa, lari ke dunia spiritual seringkali menjadi satu-satunya sumber harapan. Ia mengisi kekosongan emosional yang tidak bisa diisi oleh penjelasan logis semata.
Ada Kearifan di Baliknya
Tidak semua hal mistis itu "omong kosong". Seringkali, ada kearifan lokal yang tersembunyi di dalamnya. Larangan untuk menebang pohon di hutan yang dianggap "keramat", misalnya. Secara mistis, alasannya karena ada penunggunya. Tapi secara logis, bukankah itu adalah cara brilian nenek moyang kita untuk melakukan konservasi alam?
Jalan Tengahnya di Mana?
Jadi, apakah kepercayaan mistis ini baik atau buruk? Buat saya, jawabannya tidak hitam-putih. Ia seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia adalah kekayaan budaya yang membuat Indonesia begitu unik. Ia sumber inspirasi seni, filosofi, dan perekat sosial.
Namun di sisi lain, jika tidak ditempatkan pada porsinya, ia bisa jadi berbahaya. Ia bisa membuka pintu bagi penipuan, membuat kita menolak pengobatan medis yang penting, dan melumpuhkan daya pikir kritis kita dalam menghadapi masalah.
Mungkin, tantangan terbesar kita sebagai bangsa bukanlah untuk menghapus total kepercayaan ini, karena itu mustahil. Tantangannya adalah menjadi masyarakat yang cerdas dalam memilah. Kita perlu tahu kapan harus memakai "Logika Sains" untuk membangun jembatan, menyembuhkan penyakit, dan mengelola negara. Dan kapan kita bisa menikmati "Logika Mistis" sebagai bagian dari warisan budaya, spiritualitas pribadi, atau sekadar cerita pengantar tidur yang membuat hidup lebih berwarna.
Mungkin di situlah letak keunikan kita: menjadi bangsa yang mampu merakit satelit untuk mengorbit bumi, tanpa harus kehilangan kemampuan untuk merinding saat mendengar cerita KKN di Desa Penari.
Ditulis pada 01 September 2025


